Setiap kali aku hendak mengambil uang di ATM, batinku selalu bergumul. Sebenarnya aku tak menyukai hal ini, tapi apa boleh buat. Akses perbankan untuk tunanetra masih belum memungkinkan aku menarik uang dari ATM sendiri. Sekarang, meminta bantuan orang lain untuk menemaniku ke mesin ATM merupakan solusi terbaik meski bukan yang paling aman dan nyaman bagiku.
Aku merasa tidak nyaman dan aman karena tiap kali melakukan transaksi, mereka harus membantuku memasukkan kartu ATM-ku, mengarahkan jariku ke tombol angka agar aku bisa menekan nomor PIN-ku (yang bisa diintip dengan mudah), lalu mereka harus membacakan pilihan yang tertera di layar ATM. Kadang kala suara dari orang yang membacakan itu menarik perhatian di sekitar. Mungkin bisa menimbulkan berbagai pikiran negatif, atau bahkan mungkin bisa menjadi sasaran empuk bagi para penjahat perbankan seperti skimming ATM.
Biasanya aku meminta orang-orang yang kukenal baik seperti, saudara, teman, sahabat, atau jika kepepet tak ada seorang pun yang bisa menemaniku ke ATM, aku terpaksa meminta bantuan tukang ojek.
Pernah suatu kali ketika seorang sahabatku menemaniku mengambil uang di ATM, dia bertanya kepadaku, “Eh, memangnya elu enggak takut kalau duit elu nanti gue curi ya?”
Spontan aku menjawab, “Enggaklah, elu ‘kan lebih kaya daripada gue.” Itu karena kenyataannya memang sahabatku ini memang lebih kaya daripada aku.
“Hmm, gimana kalau suatu hari gue bokek, terus gue ambil duit elu?” tanyanya lagi penasaran.
Pertanyaan sahabatku itu sebenarnya sempat terlintas di benakku ketika aku meminta bantuan orang lain saat menarik uang tunai di ATM.
Bagaimana Tunanetra Mengakses Fasilitas Perbankan
Awalnya, sebagai sosok yang berpenglihatan normal, aku tidak pernah mengalami kesulitan untuk melakukan berbagai transaksi perbankan secara mandiri. Namun, semuanya berubah saat aku terkena suatu penyakit mata yang menyebabkan penglihatanku mengalami penurunan secara bertahap hingga buta. Sejak itu, ada banyak hal yang mau tak mau, aku harus meminta bantuan orang lain. Salah satu diantaranya adalah urusan perbankan mengingat akses perbankan untuk tunanetra saat ini masih belum ramah.
Padahal bagiku, sebenarnya urusan perbankan terutama mengenai simpanan nasabah itu adalah hal yang sangat sensitif dan bersifat pribadi.
Meski dengan bantuan teknologi saat ini tunanetra bisa melakukan beberapa transaksi perbankan secara mandiri seperti, melakukan transfer atau mengecek saldo melalui SMS banking dan internet banking, masih ada beberapa hal yang tetap harus melibatkan bantuan orang lain, misalnya untuk menarik uang tunai di ATM.
Saat ini kebanyakan ATM tidak bisa diakses bagi penyandang tunanetra sehingga para tunanetra mengalami kesulitan saat ingin mengambil uang atau sebagainya. Padahal, para tunanetra memiliki hak yang sama dengan masyarakat umum untuk memperoleh akses perbankan yang mudah.
Solusi Aksesibilitas dari Penyedia Layanan Perbankan
Keprihatinan para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra yang masih mengalami hambatan ketika hendak mengakses informasi perbankan ini sebenarnya sudah mendapatkan respon positif dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI.
Pada tanggal 3 Desember 2014, dalam rangka memeringati Hari Disabilitas Internasional, Kemensos menggandeng empat bank untuk menyediakan solusi akses perbankan untuk tunanetra. Keempat bank tersebut yaitu BNI, BRI, BCA dan Bank Mandiri memodifikasi mesin ATM mereka menjadi anjungan tunai mandiri bicara atau ATM bicara (talking ATM) agar bisa mempermudah kaum tunanetra mengakses uang secara mandiri di berbagai tempat atau di titik-titik yang sering dikunjungi oleh tunanetra.
Pada prinsipnya, ATM bicara sama dengan ATM pada umumnya. Perbedaan ada pada fitur-fiturnya, antara lain: tombol huruf atau angka braille dan headset untuk mendengar suara perintah penggunaan mesin ATM. Sementara itu, kode PIN sesuai standar, seperti pada umumnya.
Sejatinya, dengan adanya ATM bicara, penyandang tunanetra akan sangat terbantu dan bisa jadi lebih mandiri dalam melakukan transaksi perbankan. Namun sayangnya, jumlah mesin ATM bicara ini masih sangat sedikit. Tidak sebanding dengan banyaknya jumlah tunanetra yang membutuhkannya.
Aku sendiri sejak menjadi tunanetra, belum pernah mencoba ATM tersebut. Aku bahkan tidak mengetahui di mana saja keberadaan ATM bicara itu. Kurasa, selain karena jumlahnya yang masih sangat terbatas, sosialisasi mengenai ATM bicara ini juga masih kurang. Menurutku, pihak Kemensos dan bank-bank yang sudah berkomitmen untuk menyediakan ATM bicara itu sebaiknya secara kontinu melakukan sosialisasi ke lembaga-lembaga disabilitas dan sekolah luar biasa untuk tunanetra (SLB A) yang ada di kota-kota besar maupun di daerah, mengenai cara penggunaan ATM bicara, serta menginformasikan lokasi keberadaannya secara daring maupun luring. Teman-teman tunanetra di mana pun berada perlu mendapatkan informasi tentang fitur akses perbankan untuk tunanetra seperti ini.
Sebab, berdasarkan pengalaman pribadi, bukan hanya tunanetra yang tinggal di kota kecil sepertiku saja yang kurang mendapatkan informasi serta mengalami kesulitan terkait perbankan, teman-teman tunanetra yang tinggal di kota-kota besar pun masih banyak yang tidak mendapatkan informasi terkait ATM bicara serta mengalami masalah yang sama. Kesenjangan informasi tentang layanan dan akses perbankan untuk tunanetra ini memang jadi inti masalahnya.
Di satu sisi, sebagai tunanetra, aku tak bisa bergantung terus pada orang-orang terdekat, tapi di sisi lain, layanan perbankan yang akses untuk tunanetra pun belum maksimal. Padahal saat ini jumlah penyandang tunanetra di indonesia mencapai tiga juta orang lebih dan mungkin jumlahnya akan terus bertambah, mengingat jumlah penduduk lanjut usia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Belum lagi ditambah dengan jumlah korban kecelakaan, korban bencana alam dan sebagainya.
Simak juga diskusi Suarise dan Somia CX tentang Aksesibilitas Pada Layanan Perbankan
Terkait masalah di atas, kini berkat adanya teknologi untuk tunanetra, kesempatan tunanetra untuk memperoleh pekerjaan semakin terbuka lebar. Banyak dari mereka yang mendapatkan penghasilan tinggi, bisa hidup layak dan mandiri.
Oleh karena itu, mereka membutuhkan fasilitas perbankan yang akses dan aman guna mendukung kemandiriannya dalam melakukan berbagai transaksi perbankan. Misalnya untuk menyimpan uang, melakukan transfer, melakukan penarikan tunai, dan sebagainya.
Jadi, apabila bank bisa memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, layaknya orang-orang pada umumnya, bukankah pihak bank juga bisa mendapatkan keuntungan?
Selain bisa mendapatkan lebih banyak nasabah, bukankah hal ini juga bisa meningkatkan kredibilitas dan reputasi bank tersebut di mata publik?
Daripada menyulitkan para penyandang disabilitas pada umumnya, dan tunanetra pada khususnya, dalam mengakses layanan perbankan, mengapa bank-bank itu tidak berlomba-lomba untuk memfasilitasi layanan perbankan yang lebih akses, mudah, ramah dan aman bagi para penyandang disabilitas di Indonesia?
***
Catatan Kaki: Tulisan telah diikutsertakan penulis dalam lomba “Goresan Kata Tunanetra” yang diadakan oleh Mitra Netra dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada bulan Mei 2018, dan memenangkan juara ketiga.
Author Profile
- Deasy adalah talent tunanetra Suarise, dan merupakan peserta dari pelatihan Suarise Digital Content Writing batch 2.
Latest entries
- Deasy2021.04.18Anjungan Tunai Tidak Mandiri, Masalah Klasik Aksesibilitas Perbankan untuk Tunanetra
- Deasy2020.10.09Mandiri Dalam Keterbatasan Dengan Internet Tanpa Batas
- Deasy2020.04.23Tabungan Emas di Pegadaian Luring vs Pegadaian Daring
- Deasy2020.04.23Tips Sukses LDR, Supaya Kamu Enggak Kena Lockdown di Relationship